
Perkiraan kebijakan tariff impor yang dilakukan oleh Amerika Serikat diprediksikan dapat melemahkan sektor industri teknologi informasi serta telekomunikasi di Indonesia. Di samping itu, aturan tersebut mungkin juga berdampak negatif pada perbandingan nilai tukar antara rupiah dengan dollar AS.
Selain itu, sektor dalam negeri yang tetap mengandalkan impor untuk mendapatkan komponen penting seperti chip, dapat dipengaruhi secara ganda. Ini disebabkan oleh hambatan eksportasi serta peningkatan biaya produksi karena nilai tukar rupiah yang melemah.
Direktur Ekonomi Digital dari Pusat Studi Ekonomika dan Hukum Celios, Nailul Huda, mengkritik bahwa keterbatasan kemampuan produksi di dalam negeri menyebabkan industri Teknologi Informasi Indonesia rawan terhadapa kebijakan proteksionis Amerika Serikat.
"Huda mengatakan bahwa kebijakan tariff impor Amerika Serikat tersebut dapat melemahkan sektor teknologi lokal, pasalnya kita masih belum bisa memproduksi dengan independen," pada hari Senin (7/4).
Huda mengatakan bahwa penurunan permintaan dari pasar ekspor AS bisa menyebabkan barang lokal kehilangan posisi mereka di pasaran. Sementara itu, Indonesia malah berpotensi digenangi oleh produk teknologi dari negara-negara lain yang juga mendapat beban tambahan akibat tarif AS, hal ini akan semakin mengeraskan kompetisi di pasar dalam negeri.
"Sektor kami terpengaruh oleh penurunan ekspor, namun barang-barang dari negeri lain dapat memasuki pasaran dalam negeri," katanya.
Dia pun menegaskan, penurunan nilai tukar rupiah dapat memperparah kondisi tersebut karena kebanyakan komponen IT harus didatangkan dari luar negeri. "Peningkatan biaya impor yang disebabkan oleh depresiasi rupiah pastinya akan menghalangi perkembangan sektor teknologi," ujarnya.
Untuk mengantisipasi situasi tersebut, Huda menganjurkan agar pemerintah berupaya melakukan pembicaraan perdagangan dengan Amerika Serikat. Dia juga percaya bahwa perlu adanya peningkatan koordinasi global semacam yang bisa dicapai lewat BRICS.
"BRICS dapat menjadi salah satu jalur masuk. Di samping itu, pemerintah harus mendorong pertumbuhan sektor industri teknologi dalam negeri melalui berbagai insentif," katanya.
Proyek Dapat Mangkrak dan Pelunasan Penyedia Jasa Terhambat
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi juga menggariskan kemungkinan pelemahan nilai tukar rupiah yang bisa menyentuh batas psikologis di level Rp17.000 untuk setiap dolar Amerika Serikat. Ia berpendapat bahwa apabila rupiah semakin tertekan dan dapat merosot sampai ke titik Rp20.000 per dolar AS, industri telekomunikasi bakal mengalami tantangan signifikan.
Banyak projek mungkin berhenti sejenak dan pembayaran kepada pemasok dapat terpengaruh, mengingat bahwa sebagian besar perlengkapannya datang dari luar negeri dan sangat dipengaruhi oleh nilai tukar dolar Amerika Serikat," jelas Heru.
Dia juga menekankan bahwa harga peralatan telekomunikasi bakal naik, sehingga berdampak pada penurunan kemampuan konsumen untuk membeli produk teknologi informasi.
"Ini merupakan peringatan bagi kita semua. Terdapat ancaman terhadap krisis ekonomi, sosial, bahkan politik serupa dengan yang dialami pada tahun 1998. Oleh karena itu, pihak berwenang diharuskan meningkatkan strategi komunikasi serta pengelolaan agar dapat menghindari kemungkinan timbulnya krisis," jelasnya.
Pada tanggal 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump merilis kebijakan tariff balasan terhadap beberapa negara, di antaranya adalah Indonesia. Aturan baru tersebut akan diberlakukan dalam dua langkah: pertama, tarif standar 10% yang dimulai dari tanggal 5 April dan kedua, tarif spesifik untuk negara-negara tertentu yang efektif per 9 April 2025 pukul 00.01 EDT atau setara dengan jam 11.01 Waktu Indonésia Bagian Timur (WIB).
Pada aturan itu, Indonesia diwajibkan membayar tarif senilai 32%. Negara-negara ASEAN lainnya menerima tingkat tarif yang beragam yaitu Filipina dengan 17%, Singapura dengan 10%, Malaysia dengan 24%, Thailand dengan 36%, Vietnam dengan 46%, serta Kamboja dengan 49%.
Posting Komentar