Oleh: Rahmat Muhammad
Kepala Program Studi Doktor Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin
Setelah liburan Idulfitri, kondisi ekonomi di Indonesia dipengaruhi oleh aturan AS yang dikeluarkan oleh Presiden Donald Trump mengenai peningkatan bea masuk untuk berbagai negara ini menjadi topik utama bagi masyarakat global.
Salah satu negara yang mengalami dampak adalah Indonesia, di mana beberapa produk harus membayar bea sampai dengan 32 persen.
Ini bukanlah hanya sekadar langkah ekonomi tetapi juga gejala dari struktur relasi kuasa global yang timpang, di mana negara-negara Global Selatan masih berada dalam posisi subordinat terhadap logika ekonomi politik negara super power.
Dari sudut pandang Sosiologi Politik, keputusan tersebut bisa dipahami sebagai wujud dari dominasi struktural yang dilaksanakan lewat sistem ekonomi global.
Sesuai dengan pendapat Immanuel Wallerstein pada teori sistem dunia yang mempartisikan menjadi sentral, setengah periferi, dan peripheri.
Indonesia, sebagaimana merupakan bagian dari wilayah setengah peripheri, memiliki kedudukan yang bercampur antara sudah cukup maju untuk berpartisipasi dalam perekonomian global tetapi masih belum kuat sepenuhnya untuk memastikan kondisi perdagangan yang adil.
Biaya ini tak sekadar mempengaruhi keseimbangan perdagangan, namun juga menggambarkan perubahan kekuatan dominan.
Amerika Serikat tak sekadar bertanding di bidang ekonomi, namun juga berusaha menjaga kedudukan sebagai kekuatan terdepan dalam skema global seperti yang dinyatakan oleh Gramsci; ini bukan cuma soal penguasaan paksa, tapi juga tentang menciptakan kesepakatan.
Dalam hal ini, banyak negara sedang mengembangkan diri yang sering ditekan untuk menerima peraturan global yang sebenarnya tidak menguntungkannya, dengan alasan kolaborasi dan pembukaan pasar.
Dalam perspektif studi tentang Sistem Ekonomi Indonesia (SEI), pihak pemerintahan mencoba memberikan respons dengan menyediakan koncessions atau izin penggunaan lahan kepada produk-produk Amerika Serikat (AS). Hal ini seolah-olah menjadi taktik politis untuk mencegah peningkatan ketegangan.
Meskipun demikian, tindakan tersebut juga menunjukkan batas kemampuan suatu negara untuk menjaga kedaulatannya ketika dihadapkan dengan tekanan ekonomi-politis global.
Pemerintah tidak dapat secara keseluruhan membuat keputusan hanya berdasarkan kesejahteraan warganya; sebaliknya, mereka perlu menyesuaikan diri dengan kerangka global yang diatur oleh pihak-pihak utama internasional.
Dampak dari Kebijakan Tarif Impor ini bukan saja dirasakan pada skala makro, namun juga mencapai aspek-aspek dalam kehidupan sosial masyarakat di tingkat mikro.
Bidang manufaktur yang mengandalkan penjualan ke luar negeri seperti industri tekstil, perabot rumah tangga, serta sektor pertanian memiliki risiko untuk terkena dampak.
Di bidang Sosiologi, peristiwa tersebut menunjukkan adanya disorganisasi sosial, dimana tatanan sehari-hari dalam masyarakat pekerja menjadi tidak stabil karena campur tangan luar yang sulit dikontrol oleh mereka.
Tarif sebesar 32 persen ini mengindikasikan bahwa pasar global bukanlah area yang netral, tetapi justru menjadi medan perjuangan kekuatan.
Beberapa negara seperti Indonesia harus mengembangkan kemampuan ketahanan struktural, yang tidak hanya mencakup perlindungan ekonomi, tapi juga meningkatkan kedudukan mereka secara politis lewat kerja sama regional serta penataan kembali kebijakan dagang internasional.
Oleh karena itu, kebijakan tariff ini tidak boleh diartikan hanya sebatas masalah ekonomi, tetapi juga sebagai bentuk kelanjutan dari ketidakseimbangan global yang terus menerus diproduksi.
Data terkini dari masyarakat Indonesia pada awal April 2025 mengungkapkan bahwa nilai tukar rupiah sedang lesu sementara harga emas naik pesat. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani dengan nada santai, bahkan ia malahan menyatakan lebih baik melakukan silaturahmi setelah Idul Fitri daripada membahasnya secara mendalam.
Sebagai alternatif, presiden Prabowo Subianto merasa cemas namun tetap optimistis bahwa lewat acara Sarasehan Ekonomi yang akan digelar pada 8 April 2025 di Jakarta bersama para pemain ekonomi, pebisnis serta investor bisa mencegah hal-hal negatif dengan menggunakan pendekatan Evidence-Based. Pendekatan ini menuntut untuk membuat keputusan politik berdasarkan bukti-bukti saintifik yang solid dan tepat guna, tidak sekadar berpedoman pada pengalaman pribadi ataupun insting belaka, tanpa meninggalkan aspek pentingnya fakta-fakta nyata tersebut, mudah-mudahan demikian adanya.(*).
Posting Komentar